Gubernur Kalsel Dilaporkan ke KPK

BARABAI – Tanah seluas 560,4278 Ha milik Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan yang sebagian diplot menjadi kawasan pengembangan ekonomi terpadu (Kapet) disoal. Asset yang kemudian dijadikan modal penyertaan dalam ekuitas perseroan PT Meratus Jaya Iron & Steel (MJIS) di Batu Licin, Kabupaten Tanah Bumbu itu dituduh sarat KKN.
  

Dugaan adanya celah korupsi itu telah dilaporkan secara resmi oleh Lembaga Swadaya Masyarakat Kelompok Suara Hati Nurani Masyarakat ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI pada 17 Juni 2013 silam. Agar tidak ada celah, LSM ini kembali melayangkan tambahan alat bukti baru 15 Juli 2013.

Pengaduan atas nama masyarakat yang telah diteliti selama dua bulan itu ditindaklanjuti dengan surat resmi yang diteken oleh Handoyo Sudradjat,  Deputi Bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat,  KPK RI pada 16 Agustus silam. Intinya, akan ditindaklanjuti.

Dokumen laporan resmi ke KPK RI yang salinannya berhasil dikantongi RB itu dibenarkan oleh Bahrudin (Udin Palui), kemarin (2/9) siang di Barabai. Ketua Lembaga Swadaya Masyarakat Kelompok Suara Hati Nurani Masyarakat Kalimantan Selatan (KSHNM) berani melaporkan perkara itu tanpa menyembunyikan identitasnya.

Ia mengakui, investigasi selama 4 bulan itu digiatkannya justru berawal dari keluhan dan laporan masyarakat kepadanya. Bahrudin mengatakan, telah melengkapi data dan fakta akurat terkait laporan tersebut. Dari peristiwa itu, dia melaporkan Gubernur Kalimantan Selatan, Kepala Dinas Peternakan Provinsi, Kepala Kantor Wilayah Pertanahan Nasional Provinsi Kalimantan Selatan dan Direktur MJIS.

Menurut Bahrudin banyak celah yang menjadi indikasi korupsi. Dari cerita yang berhasil dirangkai, pada 1986 silam, Dinas Peternakan Provinsi melakukan pembelian lahan masyarakat Desa Sari Gadung, Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Tanah Bumbu. Tanah seluas itu diperuntukan bagi proyek pengembangan usaha peternakan bantuan Asian Development Bank (ADB). Lahan itu, ujarnya, dilengkapi sertifikat hak pakai No 1 Tahun 1992 pada 10 April 1992 seluas 560,4278 Ha.

Tanah itulah, katanya, jadi jaminan pemerintah provinsi mendapat bantuan sebanyak 300 ribu ekor sapi dari ADB. Bila dihitung nilai saat ini, bantuan itu kurang lebih Rp 1,5 Triliun. Awalnya, masyarakat yang memiliki tanah siap melepas haknya dengan janji diikutkan program peternakan sapi. Faktanya, sengketa lahan itu mengemuka karena dinilai lalai dan janji tidak terpenuhi.

”Bila mau mencek, disini saja kami menduga pertanggungjawabannya banyak fiktif dan merugikan Negara,” tegas Bahrudin sembari memperlihatkan salinan sertifikat No 1 Tahun 1992 seluas 560,4278 Ha itu kepada Radar Banjarmasin.

Belakangan, ada lagi laporan hasil pemeriksaan BPK RI pada 2012 yang menilai ada indikasi kerugiaan Negara sebesar Rp 1,1 Miliar. Itu diluar dari masalah bantuan sapi yang diduga sarat KKN. Hasil audit BPK itu terbaca jelas bahkan sertifikat tanah hak pakai No 1 tahun 1992 tanggal 10 April 1992 cuma seluas 359,9608 Ha. Untuk mencukupi luasan 560,4278 Ha itu, pada 15 Desember 2009 terbit lagi Sertifikat No 2 Tahun 2009 seluas 10,9834 Ha, sertifikat No 3 Tahun 2009 seluas 189,4836 Ha. Serta berubah menjadi hak pengelolaan.

Tiga sertifikat itu jika ditotal 560.4278, padahal, terangnya, sertifikat awal dengan nomor 1 Tahun 1992 tanggal 10 April 1992 juga seluas itu, Bahrudin menduga, sertifikat awal masih menjadi jaminan dan berada di ADB Jakarta. Nah, tanah yang berubah fungsi sebagai hak pengelolaan itulah yang menjadi penyertaan modal atau embereng Pemerintah Provinsi pada 2009 silam ke PT Meratus Jaya Iron & Steel dengan nilai pengurusan sertifikat sebesar Rp 1,1 miliar yang menjadi temuan BPK RI 2010 silam.

Untuk mencari kebenaran, terang Bahrudin, cara formal telah dilakukan seperti menggelar pertemuan dengan DPRD Provinsi, Kantor Wilayah BPN Provinsi, bersama MJIS. Hasilnya sungguh diluar dugaan, perbedaan luasan sertifikat No 1 Tahun 2009 sangat misterius. Dengan nomor sertifikat, tanggal dan tahun yang sama, tapi luasannya berbeda, ada yang seluas 560.4278 Ha dan ada juga 359,9608 Ha.

“Saat pertemuan itu, tidak ada satu pihak pun yang bisa membuktikan dan memperlihatkan sertifikat asli atau salinannya, kami terpaksa melaporkan ini ke KPK setelah konsultasi dengan masyarakat dan ada sinyal dari penegak hukum di Kalsel yang mengarahkan agar kasus itu ditangani KPK saja,” pungkasnya.(JPPN)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

WARGA ADHYAKSA GREBEK OKNUM ANGOTA DPRD BANJARMASIN

PT. MBN Diduga Sebagai Penadah Batu Bara Ileggal

Perwira Polda Kalsel Bergeser