Giliran Politikus PDIP Masuk Bui karena Dugaan Korupsi
Jakarta - Setelah
menyandang status tersangka selama setahun, Ketua Komisi XI DPR Emir Moeis
harus rela menjalani penahanan atas dugaan kasus suap atau gratifikasi
pengadaan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Tarahan, Lampung. Emir diduga
menerima 300 ribu dolar AS untuk meloloskan pemenang tender.
Seusai
menjalani pemeriksaan selama lima jam di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),
Emir langsung digiring ke Rumah Tahanan KPK di Pomdam Jaya, Guntur, Jakarta,
Kamis (11/7), pukul 16.00 WIB. Karena tubuhnya terlalu besar, Emir memakai
rompi tahanan dengan hanya meloloskan tangan kirinya. Sedangkan, tangan kanan
tidak dapat menggapai ujung rompi lainnya.
Emir
tidak memberikan komentar atau keterangan apa pun terkait penahanannya kepada
wartawan yang telah menunggu di depan Gedung KPK. Ia tetap bungkam dan langsung
masuk ke mobil tahanan. Emir ditahan untuk 20 hari ke depan.
Menurut
Juru Bicara KPK Johan Budi, alasan penahanan ini karena berkas perkara Emir
akan segera lengkap dan dilimpahkan ke penuntutan. "Berkas perkaranya
kemungkinan sudah akan selesai untuk ke tahap dua (dilimpahkan ke
penuntutan)," ujar Johan.
KPK
menjerat Emir dengan Pasal 5 Ayat 2, Pasal 12 huruf a atau b, Pasal 11 dan atau
Pasal 12 B UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal
tersebut mengenai penyelenggara negara yang menerima suap atau gratifikasi
dengan ancaman pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat
empat hingga 20 tahun.
KPK
menduga Emir menerima suap 300 ribu dolar AS dari PT Alstom Indonesia untuk
memenangkan proyek pembangunan PLTU Tarahan pada 2004. Emir menjadi tersangka
dalam kapasitasnya sebagai anggota DPR periode 1999-2004 dan 2004-2009.
Kuasa
hukum Emir, Yanuar P Wasesa, mempertanyakan penahanan kliennya karena tidak
disertai dengan pemeriksaan terhadap warga negara AS, Pirooz Sharafi, yang
menjadi perantara Emir dengan Alstom. "Sekarang fair sajalah, kapan
lembaga (KPK) ini bisa panggil Pirooz ke sini," kata Yanuar.
Pirooz
merupakan rekan Emir ketika sama-sama menempuh pendidikan di Massachusetts
Institute of Technology (MIT), AS. Menurut Yanuar, uang tersebut dikirimkan
Pirooz melalui PT Anugerah Nusantara Utama, baru kemudian ke Emir.
Uang
ini juga terkait dengan bisnis keduanya dalam bisnis konsentrat nanas ekspor
dan kemudian merintis bisnis batu bara bersama Emir. "Jadi, nggak ada uang
dari Alstom. Dari Pirooz, bukan dari Alstom," ujarnya.
Meski
begitu, Yanuar mengakui Pirooz mengenalkan Emir ke Alstom di DPR, tapi tidak
membicarakan soal proyek. Alstom hanya mempresentasikan dapat membuat produk,
dalam hal ini PLTU Tarahan, yang murah dan dapat menjualnya ke PT Perusahaan
Listrik Negara (PLN). "Menurut analisis Emir, dia yakin Pirooz menjual
namanya," kata Yanuar.
Yanuar
menilai, penahanan Emir ini dipaksakan karena KPK tidak berani untuk
menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) terhadap kasus PLTU
Tarahan. Alasannya, sudah satu tahun penanganan kasusnya, tapi tiba-tiba
diperiksa dan langsung ditahan.
Jika
KPK berdalih telah menemukan fakta dalam pemeriksaan Emir dan harus menahannya,
ia juga menganggapnya omong kosong. Ia mengklaim dari lima jam pemeriksaan,
proses tanya-jawab dengan kliennya hanya sekitar satu jam.
Menanggapi
hal ini, Johan mengatakan, KPK sudah bekerja sama dengan Departement of Justice
di AS terkait upaya KPK meminta keterangan kepada sejumlah orang asing.
"Karena saksi tersebut adalah warga negara asing dan tidak berdomisili di
Indonesia," ujar Johan. Penyidik sudah memiliki informasi soal pemberi
suap.
Jika
pemberi suap adalah warga negara asing dan berdomisili di luar negeri, dia
tidak dapat dijerat dengan UU Tipikor milik Indonesia. Namun, KPK akan
menggunakan mutual legal assistant (MLA). Johan menegaskan, KPK sudah punya
alat bukti yang cukup untuk menahan Emir. n bilal ramadhan ed: m ikhsan shiddieqy
( republika)
Komentar
Posting Komentar