BPK Temukan Laporan SKK Migas Janggal
Jakarta: Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan
kejanggalan dalam laporan pembiayaan Satuan Kerja Khusus Pelaksana
Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas). Kejanggalan berupa
pembiayaan sebesar US$221 juta yang seharusnya tak ditanggung negara.

"Kami selama ini sudah melakukan pemeriksaan mengenai kinerja SKK Migas, terutama dalam pengendalian cost recovery. Paling tidak dalam tiga tahun terakhir, BPK menemukan sekitar 221 juta dolar AS biaya-biaya yang semestinya tidak bisa dibebankan sebagai cost recovery (biaya pemulihan)," kata Wakil Ketua BPK Hasan Bisri usai menghadiri upacara peringatan HUT ke-68 RI di Kantor BPK Pusat, Jakarta, Sabtu (17/8).
Namun BPK menemui masalah. SKK Migas tak mengakui kejanggalan itu. Menurut SKK Migas kejanggalan itu merupakan cost recovery yang tak terkait dengan keuangan negara.
"Ini yang menurut saya keliru karena tidak sesuai dengan Undang Undang Keuangan Negara yang mengatur dengan tegas bahwa cost recovery' itu adalah bagian dari keuangan negara," ujarnya.
Oleh karena itu, Hasan meminta kepada para kontraktor migas untuk tidak coba-coba memasukkan biaya-biaya yang secara jelas sudah pengaturannya. Sebab pengeluaran negara sesuai dengan perjanjian kontrak dan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral.
"BPK tentu tahu bahwa kontrak kerja sama dengan kontraktor migas itu sifatnya perdata. Namun, karena ini menyangkut hak negara, manakala kontraktor mencoba memasukkan biaya yang jelas-jelas tidak boleh dimasukkan atau dibebankan kepada negara, ini bisa masuk ranah hukum pidana," tegasnya.
Pada kesempatan itu, Hasan juga mengatakan BPK sudah sering kali
menyampaikan bahwa biaya operasional SKK Migas seharusnya masuk dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
"Selama ini, biaya operasional SKK Migas tidak masuk APBN, padahal itu lembaga negara yang dibentuk oleh Pemerintah untuk mengawasi kinerja kontraktor migas," tuturnya.
"Bagaimana mungkin suatu lembaga yang dibentuk oleh Pemerintah dengan undang-undang dibiayai di luar APBN? Ini tentu tidak boleh," lanjutnya.
Hal itu, kata dia, bertentangan dengan UU Keuangan Negara yang dengan jelas menyatakan seluruh pendapatan yang menjadi hak negara dan seluruh biaya yang menjadi beban negara harus masuk dalam APBN.
"Peraturan itu sudah 'clear' (jelas) berdasarkan undang-undang dan
itu bukan maunya BPK," kata Hasan.(Ant)

"Kami selama ini sudah melakukan pemeriksaan mengenai kinerja SKK Migas, terutama dalam pengendalian cost recovery. Paling tidak dalam tiga tahun terakhir, BPK menemukan sekitar 221 juta dolar AS biaya-biaya yang semestinya tidak bisa dibebankan sebagai cost recovery (biaya pemulihan)," kata Wakil Ketua BPK Hasan Bisri usai menghadiri upacara peringatan HUT ke-68 RI di Kantor BPK Pusat, Jakarta, Sabtu (17/8).
Namun BPK menemui masalah. SKK Migas tak mengakui kejanggalan itu. Menurut SKK Migas kejanggalan itu merupakan cost recovery yang tak terkait dengan keuangan negara.
"Ini yang menurut saya keliru karena tidak sesuai dengan Undang Undang Keuangan Negara yang mengatur dengan tegas bahwa cost recovery' itu adalah bagian dari keuangan negara," ujarnya.
Oleh karena itu, Hasan meminta kepada para kontraktor migas untuk tidak coba-coba memasukkan biaya-biaya yang secara jelas sudah pengaturannya. Sebab pengeluaran negara sesuai dengan perjanjian kontrak dan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral.
"BPK tentu tahu bahwa kontrak kerja sama dengan kontraktor migas itu sifatnya perdata. Namun, karena ini menyangkut hak negara, manakala kontraktor mencoba memasukkan biaya yang jelas-jelas tidak boleh dimasukkan atau dibebankan kepada negara, ini bisa masuk ranah hukum pidana," tegasnya.
Pada kesempatan itu, Hasan juga mengatakan BPK sudah sering kali
menyampaikan bahwa biaya operasional SKK Migas seharusnya masuk dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
"Selama ini, biaya operasional SKK Migas tidak masuk APBN, padahal itu lembaga negara yang dibentuk oleh Pemerintah untuk mengawasi kinerja kontraktor migas," tuturnya.
"Bagaimana mungkin suatu lembaga yang dibentuk oleh Pemerintah dengan undang-undang dibiayai di luar APBN? Ini tentu tidak boleh," lanjutnya.
Hal itu, kata dia, bertentangan dengan UU Keuangan Negara yang dengan jelas menyatakan seluruh pendapatan yang menjadi hak negara dan seluruh biaya yang menjadi beban negara harus masuk dalam APBN.
"Peraturan itu sudah 'clear' (jelas) berdasarkan undang-undang dan
itu bukan maunya BPK," kata Hasan.(Ant)
Komentar
Posting Komentar