KPK Sesalkan Ada Remisi Napi Korupsi
JAKARTA – Pemberian remisi alias pengurangan masa
pemidanaan koruptor tampaknya kurang sejalan dengan semangat
pemberantasan korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyesalkan
keluarnya daftar penerima remisi bagi napi kasus korupsi sebagai
pelaksanaan Peraturan Pemerintah (PP) No 99 Tahun 2012 tersebut.
KPK meminta pemerintah mengevaluasi kebijakan tersebut dengan tetap
memperketat pemberian remisi. Kalau perlu, meniadakan pengurangan
hukuman bagi narapidana extraordinary crime.
PP 99/2012 merupakan dasar pengurangan masa pemidanaan bagi koruptor.
Pada 2012, ada 582 koruptor yang menerima pengampunan. Pada lebaran
tahun ini penerima remisi khusus tersebut menyusut menjadi 182
narapidana. Penerima makin sedikit karena syarat mendapat remisi lebih
sulit.
Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto mengatakan, yang menjadi
permasalahan bukan soal berkurangnya jumlah koruptor penerima remisi.
Tetapi, ada persoalan mendasar yang sangat mendasar yang perlu menjadi
pertimbangan. ’’Yakin, apakah (koruptor) perlu diberikan remisi?,’’
tanya pria yang akrab disapa BW itu saat dihubungi Jawa Pos, kemarin
(9/8).
Menurut dia, harus ada pemahaman yang utuh soal pemberian
remisi dan kategori extraordinary crime. Termasuk ketegasan sikap dan
tujuan pemidanaan dalam kaitannya dengan penempatan kualifikasi
kejahatan dan makna substantif hukuman. Bagi BW, pemerintah seharusnya
bisa lebih tegas karena dampak korupsi sangat dahsyat. ’’Dengan dasar
kebijakan politik penghukuman yang ’’zero tolerance’’ terhadap pelaku
tindak pidana korupsi, pemerintah harusnya bisa menunda,
mengesampingkan, atau meniadakan remisi,’’ tegasnya.
Dia menilai para koruptor tidak layak mendapat remisi karena dampak kejahatannya sangat serius.
Jubir KPK Johan Budi S.P menambahkan, pengetatan terhadap
remisi memang diperlukan. Tidak seharusnya para koruptor bisa begitu
saja mendapat remisi. Saat diskusi di Kemenkum HAM beberapa waktu lalu,
dia mengatakan kalau dampak korupsi hanya satu level di bawah genosida.
’’Terorisme memang kejahatan besar, tapi kalau dibanding dengan koruptor
dampaknya lebih besar. Tidak hanya satu titik generasi, tetapi sampai
generasi berikutnya,’’ kata Johan. Apalagi, di Indonesia saat ini
koruptor belum mendapat hukuman maksimal. Dia mencontohkan, tuntutan 10
tahun tetapi di vonis 5 tahun. Lantas, dapat remisi.
Ujung-ujungnya, koruptor bisa keluar penjara dalam waktu yang
singkat. Maling uang negara itu makin senyum jumawa karena usaha karena
disatu sisi tabungan para koruptor tetap banyak. Fakta lain selama ini,
koruptor tidak jera juga karena mereka bisa menyulap ruangan penjaranya
jadi mewah. ’’Ada juga koruptor yang ketika keluar, diarak. Disambut
seperti baru pulang dari perang. Nah kita ini niat berantas korupsi apa
tidak sebenarnya,’’ katanya.
KPK sendiri saat ini berusaha untuk memberikan efek jera. Seperti menerapkan pasal pencucian uang, dan perampasan aset.
Menkum HAM Amir Syamsuddin menegaskan, pemberian remisi itu sudah
sesuai aturan. Termasuk syarat-syarat agar penerima harus menjadi
justice collabolator terlebih dahulu. Namun, tentu saja itu tidak
berlaku bagi pelaku kejahatan tunggal.
Disatu sisi, Amir memahami adanya aspirasi masyarakat yang anti
terhadap remisi pada koruptor atau narapidana extraordinary crime. Dia
meminta masyarakat memahami bahwa pemberian remisi oleh pemerintah
mengikuti amanat undang-undang. Pemerintah juga tidak tuli dan
menganggap angin lalu soal teriakan penggiat antiremisi.
’’Ada semangat untuk membatasi atau pengetatan. Itu sudah di coba
dengan lahirnya PP 99/2012,’’ jelasnya. Namun, kalau masyarakat masih
belum puas bisa mendorong pihak berwenang untuk melahirkan
undang-undang. Dia sadar betul PP ada dibawah UU dan rentan diuji materi
ke Mahkamah Agung (MA).
Disebutkan juga oleh Amir kalau PP yang ada terkait pemberian remisi
sebenarnya sudah memperketat.
Tetapi, pihaknya tidak bisa berbuat banyak
karena UU masih mengunakan yang lama. Jadi, remisi yang menjadi hak
narapidana seolah-olah tidak lagi bisa dicabut dan harus diberikan.
’’Harusnya ada harmonisasi (antara PP dan UU), tapi itu tergantung
konfiurasi politik yang ada juga,’’ jelasnya.
Dia berharap para pengiat antiremisi tidak menjadikan Kemenkum HAM
sebagai sasaran tembak. Sebab, tidak cuma pemerintah yang terus-menerus
menampung aspirasi tadi. Menurutnya, perlunya juga disampaikan ke
pembuat UU supaya dibuatkan aturan yang keras. (jpnn)
Komentar
Posting Komentar