PPATK Bantah Indonesia Masuk Daftar Hitam Pencucian Uang
Jakarta - Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengatakan Indonesia tidak pernah masuk black list
dalam dokumen resmi Financial Action Task Force (FATF) on Money
Laundering. Dalam rilisnya tahun lalu, FATF menempatkan Indonesia ke
kategori “FATF Public Statement”.

"Penempatan Indonesia dalam kategori tersebut bukan karena kurang tanggapnya Indonesia dalam implementasi pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang, tetapi karena Indonesia dinilai masih memiliki defesiensi atau kekurangan dalam pemenuhan rekomendasi khusus FATF mengenai upaya pemberantasan pendanaan terorisme," kata Zulkarnain, Direktur Kerjasama dan Humas PPATK, dalam suratnya.
Zulkarnain menanggapi berita sebelumnya yang mengutip seorang pengamat bahwa Indonesia belum memuaskan standar FATF dan mengharapkan Indonesia sudah bisa keluar dari daftar hitam ini.
Pernyataan ini menurut Zulkarnain berpotensi "menyesatkan masyarakat" seolah-olah Indonesia tidak memiliki komitmen dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang.
"Faktanya, Indonesia terus memperkuat instrumen hukum terkait dengan upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang, hal ini dibuktikan dengan penerapan Undang-undang No.8
Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemeberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dalam berbagai kasus yang mengemuka di masyarakat," jelas Zulkarnain.
Dia menambahkan bahwa industri perbankan dan nonbank dibawah pengawasan regulator (Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan dan PPATK) sudah mematuhi dan menerapkan seluruh rekomendasi FATF (standar internasional) terkait pencucian uang.
Pemenuhan standar internasional itu tercermin antara lain mulai dari penerapan ketentuan yang mewajibkan Penyedia Jasa Keuangan (PJK), menerapkan prinsip "Know Your Customer" (Prinsip Mengenali Pengguna Jasa), melaporkan transaksi keuangan mencurigakan dan transaksi keuangan tunai di atas Rp 500 juta, serta ketentuan baru yang mewajibkan PJK melaporkan transfer dana dari dan keluar wilayah Indonesia tanpa batas nilai, serta menyerahkan hasil analisis dan hasil pemeriksaan PPATK kepada penyidik, ujarnya.

"Penempatan Indonesia dalam kategori tersebut bukan karena kurang tanggapnya Indonesia dalam implementasi pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang, tetapi karena Indonesia dinilai masih memiliki defesiensi atau kekurangan dalam pemenuhan rekomendasi khusus FATF mengenai upaya pemberantasan pendanaan terorisme," kata Zulkarnain, Direktur Kerjasama dan Humas PPATK, dalam suratnya.
Zulkarnain menanggapi berita sebelumnya yang mengutip seorang pengamat bahwa Indonesia belum memuaskan standar FATF dan mengharapkan Indonesia sudah bisa keluar dari daftar hitam ini.
Pernyataan ini menurut Zulkarnain berpotensi "menyesatkan masyarakat" seolah-olah Indonesia tidak memiliki komitmen dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang.
"Faktanya, Indonesia terus memperkuat instrumen hukum terkait dengan upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang, hal ini dibuktikan dengan penerapan Undang-undang No.8
Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemeberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dalam berbagai kasus yang mengemuka di masyarakat," jelas Zulkarnain.
Dia menambahkan bahwa industri perbankan dan nonbank dibawah pengawasan regulator (Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan dan PPATK) sudah mematuhi dan menerapkan seluruh rekomendasi FATF (standar internasional) terkait pencucian uang.
Pemenuhan standar internasional itu tercermin antara lain mulai dari penerapan ketentuan yang mewajibkan Penyedia Jasa Keuangan (PJK), menerapkan prinsip "Know Your Customer" (Prinsip Mengenali Pengguna Jasa), melaporkan transaksi keuangan mencurigakan dan transaksi keuangan tunai di atas Rp 500 juta, serta ketentuan baru yang mewajibkan PJK melaporkan transfer dana dari dan keluar wilayah Indonesia tanpa batas nilai, serta menyerahkan hasil analisis dan hasil pemeriksaan PPATK kepada penyidik, ujarnya.
(Heru Andriyanto/HA)
Komentar
Posting Komentar