Inilah Peta Korupsi di DPR RI
Jakarta - Komisi Pemberantas
Korupsi (KPK) memetakan ada tiga lembaga yang paling korup di Indonesia yakni
kepolisian, parlemen, dan pengadilan.
Dari tahun ke tahun,
ketiga lembaga ini terus mendapat
rangking tertinggi, dengan
peringkat yang kerap bergeser.
![Wakil Ketua DPR RI yang juga Chairman Global Organization of Parliament Against Corruption, Pramono Anung (kanan), pengamat masalah pencucian uang, Yenti Garnasih (tengah), dan anggota Komisi III DPR, Fachri Hamzah (kiri) berdiskusi mengenai masalah korupsi yang semakin merajalela di negeri ini di Jakarta, Kamis (3/10). [daridulu.com]](http://www.suarapembaruan.com/media/images/medium2/20131003171516029.jpg)
Kalau tahun 2012-2013, kepolisian menempati posisi nomor satu, maka pada periode 2010-2011 DPR menjadi lembaga terkorup nomor satu. Bahkan untuk tingkat ASEAN, DPR dikenal paling kreatif dan paling jago korupsi. Itu terbukti sejak 2004-2013, KPK sudah menangani 65 anggota dewan yang korup.
Apa saja model korupsi yang dilakukan anggota DPR RI?
Wakil Ketua DPR RI, Pramono Anung di Jakarta, Kamis (3/10), mengatakan, dulu peta utama korupsi di DPR ada di Badan Anggaran (Banggar) DPR RI dan pengawasan, sesuai dengan tiga tugas dan fungsi utama DPR yakni legislasi, pengawasan, dan budgeting.
“Ternyata yang ditemukan Bank Dunia dan KPK adalah korupsi paling marak justru terjadi berkaitan dengan proses legislasi,” katanya.
Pramono mengatakan, kalau korupsi di Banggar DPR RI sudah jelas ada di tahap penetapan tingkat pertama, pembahasan dan penentuan APBN-P, pengangkatan pejabat publik, dan sebagainya.
Tetapi di bilang legislasi, kata dia, peluang korupsi terjadi di tujuh tingkatan, mulai dari penyusunan proses legislasi nasional (prolegnas), harmonisasi undang-undang, penentuan dan pembahasan DIM (Daftar Inventarisasi Masalah), pembahasan pembicaraan tingkat satu, pembahasan penolakan fraksi-fraksi, pembahasan pengambilan keputusan, dan pembahasan pengesahan sebuah rancangan undang-undang (RUU).
“Dalam semua tahapan itu, ada potensi korupsi,” katanya. Namun Pramono menolak memberi contoh bagaimana korupsi di setiap tingkatan itu dilakukan.
Sementara itu, anggota Komisi III DPR dari FPKS, Fahri Hamzah mengatakan, modus korupsi yang dilakukan anggota DPR RI sangat beragam atau bervariasi.
Ketika duduk di Komisi VI DPR RI, kata dia, dirinya pernah marah kepada beberapa BUMN yang selalu membawa amplop berisi uang setiap kali menggelar rapat kerja dengan DPR RI.
“Setiap kali rapat kerja dengan BUMN selalu ada amplopnya. Saya marah dan tidak bisa menerima hal seperti ini. Bagaimana mungkin kita membahas anggaran untuk mereka, tapi kita menerima sogokan dari mereka,” katanya.
Ada modul lain lagi yang sering dilakukan anggota DPR RI. Misalnya, ketika kementerian atau lembaga negara bermasalah, komisi terkait di DPR RI segera memanggil mereka dan mengadakan rapat kerja.
Menurut sumber SP, pernah terjadi, seorang menteri dikritik habis oleh anggota dewan. Kritikannya sangat keras.
Tentu dengan harapan, setelah raker, sang menteri atau stafnya mendekati si anggota dewan tersebut agar jangan mengeritik terlalu keras seraya menyerahkan amplop. Ternyata hal itu tidak terjadi.
Pada raker berikutnya, si anggota dewan yang sama mengubah pendekatan. Kali ini dia memuji habis sang menteri. Tetapi usai sidang, amplop yang diharapkan tidak juga datang.
“Si anggota dewan itu berbisik, apa maunya si menteri ini ya, dikritik, enggak juga datang amplop itu, dipuji malah dia tertawa. Kita tahan aja anggarannya ya,” kata sumber meniru perkataan anggota dewan tersebut.
Sementara itu, pakar pencucian uang, Yenti Garnasih mengatakan, modus korupsi anggota dewan bervariatif. Yang kerap terjadi adalah melalui trading influence.
“Itu yang dilakukan Angelina Sondakh ketika dia mendekati Banggar DPR RI untuk meminta proyek tertentu, dia langsung kena,” katanya.
Dijelaskan, korupsi legislasi yang dilakukan DPR itu sangat berbahaya, karena dilakukan secara sistemik berupa undang-undang (UU). Ini sangat merugikan semua rakyat Indonesia.
“Kita juga tidak bisa serta-merta mengubah UU yang bermasalah. Kalaupun ada kesepakatan melakukan revisi, misalnya revisi UU KPK, kita pun cemas, jangan-jangan revisinya nanti bukan memperkuat tetapi melemahkan KPK, jangan-jangan penyadapan dikurangi,” katanya.
Maraknya korupsi legislasi yang disampaikan Pramono Anung mengingatkan kita akan kasus hilangnya Ayat (2) Pasal 113 dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan yang disetujui Rapat Paripurna DPR, 14 September 2009.
Ayat yang hilang itu adalah Ayat (2) yang berbunyi, "Zat adiktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi tembakau, produk yang mengandung tembakau, padat, cairan, dan gas yang bersifat adiktif yang penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya dan/atau masyarakat sekelilingnya."
“Satu pasal, tetapi harganya miliaran,” kata anggota dewan yang tidak mau disebutkan namanya. [SP/L-8/WK]
![Wakil Ketua DPR RI yang juga Chairman Global Organization of Parliament Against Corruption, Pramono Anung (kanan), pengamat masalah pencucian uang, Yenti Garnasih (tengah), dan anggota Komisi III DPR, Fachri Hamzah (kiri) berdiskusi mengenai masalah korupsi yang semakin merajalela di negeri ini di Jakarta, Kamis (3/10). [daridulu.com]](http://www.suarapembaruan.com/media/images/medium2/20131003171516029.jpg)
Kalau tahun 2012-2013, kepolisian menempati posisi nomor satu, maka pada periode 2010-2011 DPR menjadi lembaga terkorup nomor satu. Bahkan untuk tingkat ASEAN, DPR dikenal paling kreatif dan paling jago korupsi. Itu terbukti sejak 2004-2013, KPK sudah menangani 65 anggota dewan yang korup.
Apa saja model korupsi yang dilakukan anggota DPR RI?
Wakil Ketua DPR RI, Pramono Anung di Jakarta, Kamis (3/10), mengatakan, dulu peta utama korupsi di DPR ada di Badan Anggaran (Banggar) DPR RI dan pengawasan, sesuai dengan tiga tugas dan fungsi utama DPR yakni legislasi, pengawasan, dan budgeting.
“Ternyata yang ditemukan Bank Dunia dan KPK adalah korupsi paling marak justru terjadi berkaitan dengan proses legislasi,” katanya.
Pramono mengatakan, kalau korupsi di Banggar DPR RI sudah jelas ada di tahap penetapan tingkat pertama, pembahasan dan penentuan APBN-P, pengangkatan pejabat publik, dan sebagainya.
Tetapi di bilang legislasi, kata dia, peluang korupsi terjadi di tujuh tingkatan, mulai dari penyusunan proses legislasi nasional (prolegnas), harmonisasi undang-undang, penentuan dan pembahasan DIM (Daftar Inventarisasi Masalah), pembahasan pembicaraan tingkat satu, pembahasan penolakan fraksi-fraksi, pembahasan pengambilan keputusan, dan pembahasan pengesahan sebuah rancangan undang-undang (RUU).
“Dalam semua tahapan itu, ada potensi korupsi,” katanya. Namun Pramono menolak memberi contoh bagaimana korupsi di setiap tingkatan itu dilakukan.
Sementara itu, anggota Komisi III DPR dari FPKS, Fahri Hamzah mengatakan, modus korupsi yang dilakukan anggota DPR RI sangat beragam atau bervariasi.
Ketika duduk di Komisi VI DPR RI, kata dia, dirinya pernah marah kepada beberapa BUMN yang selalu membawa amplop berisi uang setiap kali menggelar rapat kerja dengan DPR RI.
“Setiap kali rapat kerja dengan BUMN selalu ada amplopnya. Saya marah dan tidak bisa menerima hal seperti ini. Bagaimana mungkin kita membahas anggaran untuk mereka, tapi kita menerima sogokan dari mereka,” katanya.
Ada modul lain lagi yang sering dilakukan anggota DPR RI. Misalnya, ketika kementerian atau lembaga negara bermasalah, komisi terkait di DPR RI segera memanggil mereka dan mengadakan rapat kerja.
Menurut sumber SP, pernah terjadi, seorang menteri dikritik habis oleh anggota dewan. Kritikannya sangat keras.
Tentu dengan harapan, setelah raker, sang menteri atau stafnya mendekati si anggota dewan tersebut agar jangan mengeritik terlalu keras seraya menyerahkan amplop. Ternyata hal itu tidak terjadi.
Pada raker berikutnya, si anggota dewan yang sama mengubah pendekatan. Kali ini dia memuji habis sang menteri. Tetapi usai sidang, amplop yang diharapkan tidak juga datang.
“Si anggota dewan itu berbisik, apa maunya si menteri ini ya, dikritik, enggak juga datang amplop itu, dipuji malah dia tertawa. Kita tahan aja anggarannya ya,” kata sumber meniru perkataan anggota dewan tersebut.
Sementara itu, pakar pencucian uang, Yenti Garnasih mengatakan, modus korupsi anggota dewan bervariatif. Yang kerap terjadi adalah melalui trading influence.
“Itu yang dilakukan Angelina Sondakh ketika dia mendekati Banggar DPR RI untuk meminta proyek tertentu, dia langsung kena,” katanya.
Dijelaskan, korupsi legislasi yang dilakukan DPR itu sangat berbahaya, karena dilakukan secara sistemik berupa undang-undang (UU). Ini sangat merugikan semua rakyat Indonesia.
“Kita juga tidak bisa serta-merta mengubah UU yang bermasalah. Kalaupun ada kesepakatan melakukan revisi, misalnya revisi UU KPK, kita pun cemas, jangan-jangan revisinya nanti bukan memperkuat tetapi melemahkan KPK, jangan-jangan penyadapan dikurangi,” katanya.
Maraknya korupsi legislasi yang disampaikan Pramono Anung mengingatkan kita akan kasus hilangnya Ayat (2) Pasal 113 dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan yang disetujui Rapat Paripurna DPR, 14 September 2009.
Ayat yang hilang itu adalah Ayat (2) yang berbunyi, "Zat adiktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi tembakau, produk yang mengandung tembakau, padat, cairan, dan gas yang bersifat adiktif yang penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya dan/atau masyarakat sekelilingnya."
“Satu pasal, tetapi harganya miliaran,” kata anggota dewan yang tidak mau disebutkan namanya. [SP/L-8/WK]
Komentar
Posting Komentar