MK Hancurkan Kepastian Hukum Sengketa Pilkada

Jakarta - Para pencari keadilan dalam kasus sengketa pemilihan kepala daerah (pilkada) merasa tidak mendapatkan kepastian hukum ketika peran Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai pengadil terakhir dalam hal hasil pemilu, diragukan.  
Gedung Mahkamah Konstitusi (MK). [Dok.SP]
Sejumlah putusan MK tidak selaras dengan putusan atau hasil penyelidikan institusi lain seperti Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN), Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), bahkan hasil penyelidikan kepolisian terhadap proses pilkada.   

MK juga dinilai telah menghancurkan kepastian hukum ketika mengadili putusan institusi lainnya yang telah bersifat final dan mengikat. Selain itu, keraguan terhadap putusan MK juga dilandasi kenyataan bahwa lembaga negara itu dijejali dengan banyak kasus sengketa Pilkada sehingga bekerja dengan keterbatasan waktu.  

Ketergesaan ditengarai menjadi penyebab proses pemeriksaan dokumen, barang bukti, dan keterangan saksi dalam sebuah perkara, tidak sampai pada inti kebenaran.  

Pakar hukum tata negara Refly Harun mengemukakan, putusan MK bisa saja salah, bahkan melahirkan putusan sesat. Hal itu karena ketersediaan waktu bagi MK untuk memutus suatu sengketa pemilu hanya 14 hari. Padahal problem dari sengketa pemilu maupun pilkada itu sangat banyak dan rumit.

Dengan waktu yang singkat itu, bisa saja terjadi mobilisasi bukti atau saksi oleh calon-calon tertentu.  

Beberapa contoh putusan MK yang menggambarkan ketidakpastian hukum antara lain dalam kasus sengketa Pilkada Sumba Barat Daya dan Nagekeo (NTT), serta Pilkada Kota Waringin Barat (Kalteng).  

Pada Pilkada Kota Waringin Barat, Kalteng (2010) yang memenangkan pasangan Sugianto Sabran-Eko Sumarno. Pasangan Ujang Iskandar-Bambang Purwanto tidak puas dengan hasil tersebut sehingga mengajukan gugatan ke MK.

Gugatannya dikabulkan dan mendiskualifikasi pasangan Sugianto-Eko. Berdasarkan amar putusan MK tersebut, Mendagri mengeluarkan SK pengangkatan Ujang-Bambang, 8 Agustus 2011. Namun, tak mau kalah, pasangan Sugianto-Eko juga melakukan upaya hukum dengan membawa SK tersebut ke PT TUN. Hasilnya, PT TUN menganulir atau membatalkan SK Kemdagri pada 21 Maret 2013.   

Kemdagri mengajukan kasasi di tigkat MA. Mendagri sebagai pemohon I, Bupati Kotawaringin Barat Ujang Iskandar sebagai pemohon II dan Wakil Bupati Bambang Purwanto sebagai pemohon III. Namun, MA menolak kasasi yang diajukan Mendagri.  

Menurut anggota DKPP, Saut Hamonangan Sirait, masing-masing institusi sudah punya kewenangan sendiri. Mahkamah tertinggi yang memutus sengketa hasil pemilu adalah MK. PT TUN menangani perkara berkaitan soal administrasi,  sedangkan DKPP soal kode etik.  

Namun, kata Saut, putusan DKPP yang final dan mengikat pun oleh MK dilanggar. “Keputusan DKPP diadili juga oleh MK. Meskipun ranah DKPP dan MK itu beda juga kita tak ada ranah hukum, kita soal etika. Jadi MK sendiri yang menghancurkan kepastian hukum Indonesia,” katanya.

Penyelenggara
Refly mengungkapkan, guna mengatasi permasalahan tersebut, dia meminta supaya MK tidak perlu masuk ke persoalan-persoalan yang terkait proses pilkada maupun pemilu. “MK cukup memutus masalah rekapitulasi suara dan masalah-masalah substantif. Selain itu, MK sebagai pengadilan banding dari pengadilan sebelumnya," kata Refly, Selasa (2/10).

Ia menjelaskan sengketa-sengketa yang terkait proses harus diselesaikan pada lembaga penyelenggara pemilu yang ada selama ini yaitu KPU, Bawaslu, dan DKPP.

Jika terjadi sengketa hukum, dia mengusulkan agar dibentuk pengadilan khusus yang mengurusi masalah-masalah tersebut. Pengadilan khusus dengan bergabung ke Pengadilan Tinggi (PT) yang berada di provinsi. PT bertindak sebagai pengadilan pertama dalam sengketa Pilkada maupun pemilu. Jika ada calon atau masyarakat yang tidak puas maka bisa ajukan banding atas hasil putusan PT. Pengadilan banding jangan berada di MA tetapi tetap di MK. Alasannya supaya terintegrasi dengan putusan MK dalam bidang rekapitulasi.

"Jika upaya banding di MA, nanti akan ada rivalitas dengan MK. Selain itu nanti tidak sinkron dengan putusan MK dalam hal rekapitulasi suara," tegasnya.  

Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDI-P Ahmad Basarah, Rabu (2/10), mengatakan, UU No 8/2011 tentang MK berpeluang untuk direvisi. Sebab, masih ada putusan MK yang menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan. 

“Banyaknya kasus putusan MK yang masih timbulkan perasaan ketidakadilan masyarakat dapat jadi pintu masuk merevisi UU MK,” kata Basarah.  

Dia berharap MK seyogyanya bersikap hati-hati membuat putusan perkara sengketa pemilihan kepala daerah (pilkada) di Indonesia. Pasalnya, putusan MK bersifat final dan mengikat. “Tidak sepatutnya MK bersikap terburu-buru atau tergesa-gesa dalam memutus sengketa pilkada di Sumba Barat Daya (SBD) misalnya. Karena akhirnya putusan MK timbulkan polemik dan ketidakpastian hukum bagi peserta pilkada SBD,” harapnya.  

Dia menambahkan, sengketa pilkada SBD harus menjadi pelajaran bagi seluruh hakim MK. “Para hakim konstitusi mesti tetap bersikap mulia dengan tidak terlibat dalam berbagai konflik kepentingan mereka masing-masing,” tandas Wakil Sekjen PDI Perjuangan ini. (Sp)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PT. MBN Diduga Sebagai Penadah Batu Bara Ileggal

Reka Ulang Pembunuh Bos Rental Alat Berat

WARGA ADHYAKSA GREBEK OKNUM ANGOTA DPRD BANJARMASIN