Perppu Pengawasan MK, Lubang Besar Menuju Pemakzulan Presiden
JAKARTA] Keputusan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengeluarkan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang (Perppu) bisa
menjadi bumerang.
MPR RI mengingatkan Presiden SBY untuk hati-hati, walau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) merupakan hak diskresi Presiden.
![Wakil Ketua MPR RI, Lukman Hakim Saefuddin (tengah) bersama pakar hukum tata negara, Irman Putra Sidin (kanan), dan matan staf ahli MK, Refly Harun dalam diskusi bertema “Runtuhnya Benteng Mahkamah Konstitusi di Jakarta, Senin,(7/10). [daridulu.com]](http://www.suarapembaruan.com/media/images/medium2/20131007171311970.jpg)
“Materi Perppu jangan melampaui hal-hal yang sudah diatur dalam Konstitusi atau UUD 1945. Jika tidak, Perppu itu akan membuka lubang besar yang menjadi celah bagi DPR untuk mengusulkan impeachment terhadap Presiden,” kata Wakil Ketua MPR RI, Lukman Hakim Saefuddin dalam diskusi bertema “Runtuhnya Benteng Mahkamah Konstitusi ” bersama pakar hukum tata negara, Irman Putra Sidin dan matan staf ahli MK, Refly Harun di Jakarta, Senin,(7/10).
Menurut Lukman, keluarnya Perppu itu merupakan solusi jangka pendek dalam mengatasi krisis kepercayaan publik terhadap MK. “Saya kira itu solusi jangka pendeknya,” tegasnya.
Sementara itu, Irman Putra Sidin meminta DPR jangan memberikan saran ataupun masukan terhadap Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu). Karena saran dan masukan DPR itu akan menjadikan Perppu menjadi undang-undang (UU).
“Haram bagi DPR ataupun parlemen untuk memberikan pandangan atau masukan terhadap Perppu yang akan dikeluarkan pemerintah,” katanya.
Menurut Irman, Perppu itu menjadi domain dan kewenangan pemerintah. Sementara DPR itu yang menilai Perppu, apakah diterima atau ditolak.
“Kalau DPR ternyata memberikan saran, tentu sama saja bukan Perppu lagi,” tegasnya. Hanya saja Irman mengingatkan agar materi Perppu itu jangan sampai melanggar Konstitusi, misalnya soal meninjau ulang materi putusan MK.
“Ini bisa berbahaya, DPR bisa menilainya sebagai pelanggaran konstitusi, akibatnya presiden di-impeachment,” ucapnya.
Lebih jauh kata Irman, hanya MPR saja yang bisa mengubah putusan MK. Karena materi putusan MK itu sama saja dengan konstitusi. Artinya, cuma sidang MPR yang bisa mengubah putusan MK. Sayangnya, sulit sekali untuk mengumpulkan anggota MPR untuk membuat sidang tersebut,” tambahnya.
Namun, Irman membenarkan langkah Presiden SBY tidak mengundang MK dalam rapat para dengan ketua-ketua lembaga tinggi negara. “Sudah benar, MK tidak diundang dalam rapat tersebut,” tegasnya.
Sedangkan Refly Harun lebih menyoroti soal perilaku hakim MK. Karena itu memang harus ada yang mengawasi itu kelakuan para hakim MK, dan bukan lembaga MK.
“Perilaku hakim MK itu yang harus dikontrol, dan hasil pengawasannya diserahkan ke Majelis Kehormatan MK. Sama halnya dengan DPR RI yang diserahkan ke Badan Kehormatan DPR,” ujarnya.
Sedangkan mengenai proses rekruitmen lanjut Refly, pihak-pihak yang terlibat dari presiden, MA, dan DPR RI yang terpenting harus memenuhi prinsip-prinsip akuntabel, partisipatif, transparan, dan obyektif.
“Pinrip-prinsip itu yang tidak dijalankan, sehingga wajar kalau penunjukan Akil Mochtar, Patrialis Akbar, dan Maria Farida Indrati bermasalah. Putusan yang dihasilkan pun tak mencerminkan kinerja dari negarawan,” pungkasnya. [L-8/Sp/BK]
MPR RI mengingatkan Presiden SBY untuk hati-hati, walau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) merupakan hak diskresi Presiden.
![Wakil Ketua MPR RI, Lukman Hakim Saefuddin (tengah) bersama pakar hukum tata negara, Irman Putra Sidin (kanan), dan matan staf ahli MK, Refly Harun dalam diskusi bertema “Runtuhnya Benteng Mahkamah Konstitusi di Jakarta, Senin,(7/10). [daridulu.com]](http://www.suarapembaruan.com/media/images/medium2/20131007171311970.jpg)
“Materi Perppu jangan melampaui hal-hal yang sudah diatur dalam Konstitusi atau UUD 1945. Jika tidak, Perppu itu akan membuka lubang besar yang menjadi celah bagi DPR untuk mengusulkan impeachment terhadap Presiden,” kata Wakil Ketua MPR RI, Lukman Hakim Saefuddin dalam diskusi bertema “Runtuhnya Benteng Mahkamah Konstitusi ” bersama pakar hukum tata negara, Irman Putra Sidin dan matan staf ahli MK, Refly Harun di Jakarta, Senin,(7/10).
Menurut Lukman, keluarnya Perppu itu merupakan solusi jangka pendek dalam mengatasi krisis kepercayaan publik terhadap MK. “Saya kira itu solusi jangka pendeknya,” tegasnya.
Sementara itu, Irman Putra Sidin meminta DPR jangan memberikan saran ataupun masukan terhadap Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu). Karena saran dan masukan DPR itu akan menjadikan Perppu menjadi undang-undang (UU).
“Haram bagi DPR ataupun parlemen untuk memberikan pandangan atau masukan terhadap Perppu yang akan dikeluarkan pemerintah,” katanya.
Menurut Irman, Perppu itu menjadi domain dan kewenangan pemerintah. Sementara DPR itu yang menilai Perppu, apakah diterima atau ditolak.
“Kalau DPR ternyata memberikan saran, tentu sama saja bukan Perppu lagi,” tegasnya. Hanya saja Irman mengingatkan agar materi Perppu itu jangan sampai melanggar Konstitusi, misalnya soal meninjau ulang materi putusan MK.
“Ini bisa berbahaya, DPR bisa menilainya sebagai pelanggaran konstitusi, akibatnya presiden di-impeachment,” ucapnya.
Lebih jauh kata Irman, hanya MPR saja yang bisa mengubah putusan MK. Karena materi putusan MK itu sama saja dengan konstitusi. Artinya, cuma sidang MPR yang bisa mengubah putusan MK. Sayangnya, sulit sekali untuk mengumpulkan anggota MPR untuk membuat sidang tersebut,” tambahnya.
Namun, Irman membenarkan langkah Presiden SBY tidak mengundang MK dalam rapat para dengan ketua-ketua lembaga tinggi negara. “Sudah benar, MK tidak diundang dalam rapat tersebut,” tegasnya.
Sedangkan Refly Harun lebih menyoroti soal perilaku hakim MK. Karena itu memang harus ada yang mengawasi itu kelakuan para hakim MK, dan bukan lembaga MK.
“Perilaku hakim MK itu yang harus dikontrol, dan hasil pengawasannya diserahkan ke Majelis Kehormatan MK. Sama halnya dengan DPR RI yang diserahkan ke Badan Kehormatan DPR,” ujarnya.
Sedangkan mengenai proses rekruitmen lanjut Refly, pihak-pihak yang terlibat dari presiden, MA, dan DPR RI yang terpenting harus memenuhi prinsip-prinsip akuntabel, partisipatif, transparan, dan obyektif.
“Pinrip-prinsip itu yang tidak dijalankan, sehingga wajar kalau penunjukan Akil Mochtar, Patrialis Akbar, dan Maria Farida Indrati bermasalah. Putusan yang dihasilkan pun tak mencerminkan kinerja dari negarawan,” pungkasnya. [L-8/Sp/BK]
Komentar
Posting Komentar