Akil Selalu Pilih Perkara dari Kalimantan
Jakarta - Akhirnya, Akil Mochtar diberhentikan secara tidak
hormat dari jabatannya sebagai ketua Mahkamah Konstitusi (MK). Keputusan
itu ditetapkan Majelis Kehormatan MK setelah melakukan pemeriksaan
internal. Mereka menilai Akil terbukti melakukan beberapa pelanggaran
etika.

Selain kasus dugaan suap dan pencucian uang yang ditangani
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) serta dugaan penggunaan narkoba yang
ditangani Badan Narkotika Nasional dan polri, salah satu pelanggaran
etika yang dilakukan Akil adalah sengaja mengambil jatah sidang lebih
banyak. Pengambilan jatah itu terutama saat terjadi sengketa pemilukada
di Kalimantan.
“Ya kami merasakan itu. Pak Akil sudah mulai sidang
sejak pukul 08.00 Wita, tetapi kami baru mulai pukul 09.00 Wita. Pak
Akil sehari empat sidang, kami rata-rata satu sidang,” kata seorang
hakim konstitusi, Harjono di Jakarta, Kamis (1/11).
Diakui dia,
para hakim konstitusi tidak mempertanyakan kejanggalan tersebut kepada
Akil karena ketua MK memiliki hak prerogatif untuk menentukan distribusi
panel hakim yang menangani sengketa Pemilukada. “Ya saya terima saja
distribusinya. Karena dia kan ketuanya, memiliki kewenangan untuk itu,”
kata Harjono yang juga ketua Majelis Kehormatan MK.
Mantan Ketua
MK yang juga anggota Majelis Kehormatan, Mahfud MD menyoroti pula
dominasi Akil menangani perkara sengketa pemilukada. “Seharusnya
profesional atau lebih sedikit mengingat hakim terlapor adalah ketua MK
yang mempunyai tugas-tugas struktural dan administratif lainnya.
Seharusnya tidak terlalu banyak menangani perkara dari Kalimantan karena
dia dari sana,” ujar dia.
Menyinggung motivasi Akil melakukan
itu, Mahfud secara tegas mengatakan ada tujuan tertentu. “Mempunyai
motif untuk mengendalikan perkara ke arah putusan tertentu,” katanya.
Bagaimana
sikap Akil? Melalui salah seorang pengacaranya, Tamsil Syukur, dia
mengaku kecewa karena telah dipecat. Pasalnya, dia tidak diberi ‘ruang’
untuk menjelaskan dan membela diri.
Akil pernah meminta diperiksa
Majelis Kehormatan secara terbuka seperti saksi lain. Namun, Majelis
menolak karena kekhawatiran mengganggu penyidikan kasus korupsi Akil
oleh KPK.
“Klien saya sudah tahu arahnya ke situ (pemecatan).
Makanya dia tidak diberi kesempatan membela diri. Harusnya semua
pemeriksaan dilakukan secara tertutup. Pak Akil bertanya-tanya, ada apa
ini? Yang lain sudah menjelek-jelekkan dia secara terbuka, tetapi dia
tidak diberi kesempatan,” ujar Tamsil.
Ketua Baru
Setelah pemberhentian Akil, para hakim konstitusi memilih ketua baru. Hasilnya, Hamdan Zoelva ‘naik pangkat’ dari wakil ketua menjadi ketua baru MK. Pemilihan digelar secara voting terbuka. Delapan hakim konstitusi berhak memilih dan dipilih. Setelah melalui proses voting dua putaran, mantan politisi Partai Bulan Bintang (PBB) itu terpilih menjadi ketua untuk periode 2013-2016.
Setelah pemberhentian Akil, para hakim konstitusi memilih ketua baru. Hasilnya, Hamdan Zoelva ‘naik pangkat’ dari wakil ketua menjadi ketua baru MK. Pemilihan digelar secara voting terbuka. Delapan hakim konstitusi berhak memilih dan dipilih. Setelah melalui proses voting dua putaran, mantan politisi Partai Bulan Bintang (PBB) itu terpilih menjadi ketua untuk periode 2013-2016.
Terpilihnya Hamdan bisa dibilang ironi di
tengah desakan banyak kalangan agar mantan politisi dipersulit menjadi
hakim konstitusi. Terpilihnya Hamdan juga mengulang keterpilihan Akil
yang mantan politisi Partai Golkar dan Mahfud dari Partai Kebangkitan
Bangsa (PKB).
Pada putaran pertama, Hamdan mengantongi 4 suara,
sementara pesaing terdekatnya, Arief Hidayat (berlatar belakang
akademisi), mengantongi 3 suara. Karena tidak ada yang mencapai suara 50
persen plus satu, voting putaran kedua digelar. Hasil akhir, Hamdan
mendapat 5 suara sementara Arief tetap mengantongi 3 suara.
Hamdan
yang lahir di Kota Bima, NTB, 21 Juni 1962 masuk ke MK pada 2010.
Jabatan terakhir adalah wakil ketua. Sebelum menjabat hakim konstitusi,
Hamdan memulai kariernya sebagai dosen luar biasa di beberapa
universitas (1986-1987), advokat (1987-2010), dan anggota DPR
(1999-2004).
Anggota Komisi III DPR Gede Pasek Suardika berharap
ketua baru MK bisa mengembalikan marwah dan kewibawaan hakim konstitusi.
Salah satu caranya tidak menggunakan gaya politisi yang mengomentari
segala hal sehingga menciptakan hiruk-pikuk.(tribun/bk)
Komentar
Posting Komentar