Luthfi Hasan Divonis 16 Tahun Penjara
![]() |
Sidang pengadilan Luthfi Hasan Ishaaq [antara] |
"Mengadili, menyatakan terdakwa Luthfi Hasan Ishaaq terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang, secara bersama-sama menjatuhkan pidana penjara 16 tahun, denda Rp1 miliar, diganti kurungan 1 tahun," kata ketua majelis hakim Gusrizal Lubis dalam sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (9/12).
Vonis tersebut lebih rendah dibanding jaksa penuntut umum KPK yang meminta pengadilan menghukum Luthfi selama 18 tahun penjara yaitu 10 tahun penjara dengan denda Rp500 juta subsider 6 bulan penjara untuk tindak pidana pidana korupsi dan 8 tahun penjara untuk kejahatan pencucian uang ditambah denda sebesar Rp1,5 miliar.
Hakim berpendapat Luthfi bersalah melakukan tindak pidana korupsi dari pasal 12 huruf a UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 tahun 2001 jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Sedangkan untuk TPPU, vonis tersebut berdasarkan pasal 3 ayat (1) huruf a, b, dan c serta pasal 6 ayat (1) huruf b dan c UU No 15 tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan UU no 25 tahun 2003 tentang perubahan atas UU No 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian uang jo pasal 65 ayat (1) KUHP.
Selanjutnya pasal 3 dan pasal 5 UU no 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian uang jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo pasal 65 ayat (1) KUHP.
Namun hakim menolak permohonan jaksa untuk mencabut hak politik Luthfi karena menilainya berlebihan.
"Permohonan agar terdakwa dicabut hak politiknya berlebihan karena dengan sendirinya akan terseleksi dengan organisasi politik yang bersangkutan," kata Gusrizal.
Dalam pertimbangannya, hakim menilai bahwa Luthfi bersama orang dekatnya, Ahmad Fathanah memang menjanjikan pengurusan penambahan kuota impor daging sapi dengan imbalan "fee" sebesar Rp40 miliar dengan perhitungan Rp5000 untuk setiap kilogram kuota impor daging sapi.
"Fathanah sudah dua kali menerima uang dari saksi Maria Elizabeth Liman yaitu masing-masih Rp300 juta dari saksi Elda Devianne Adiningrat dan Rp1 miliar yang diambil langsung dari PT Indoguna Utama, sehingga Rp1,3 dari Maria Elizabeth Liman atau PT Indoguna sudah terelaisasi sebagian dari yang dijanjikan yaitu apabila mendapat kuota 8 ribu ton mendapat Rp40 miliar," kata anggota majelis hakim I Made Hendra.
Luthfi, menurut hakim bahkan mengatakan akan membantu lebih banyak yaitu hingga 10 ribu ton agar mendapat komisi Rp50 miliar.
"Di persidangan terungkap kata-kata membantu rekomendasi 10 ribu ton adalah candaan belaka yang biasa dilakukan antara Fathanah dan terdakwa tapi setelah mendengar rekaman, majelis berpendapat pernyataan itu tidak mengandung unsur bercanda, tidak tertawa-tertawa dan menunjukkan keseriusan sehingga kesaksian itu harus dikesampingkan," ungkap hakim I Made Hendra.
Meski Luthfi membela diri dengan menyatakan bahwa janji Rp40 miliar tersebut hanya pembicaraan antara Fathanah dan Maria Elizabeth Liman sehingga Fathanah menipu Maria dengan menunjukkan seolah-olah untuk kepentingan Luthfi atau PKS.
"Majelis berpendapat terdakwa tahu akan membantu realisasi bahwakn mengatakan akan membantu tambahan 10 ribu ton untuk mendapat 'fee' Rp50 miliar sehingga terdakwa mulai bergerak dengan mempertemukan Maria dengan Menteri Suswono di Medan dan menindaklanjuti dengan memberikan data yang diminta Mentan, jadi Maria mendapat kepastian memperoleh rekomendasi ddar terdakwa sehingga memberikan Rp300 juta lalu RpRp1 miliar kepada Fathanah," tambah hakim.
Walaupun PT Indoguna Utama tidak mendapt tambahan kuota, tapi hakim melihat bahwa penambahan kuota tidak perlu terpenuhi untuk membuktikan unsur pidana.
"Bahwa tidak ada penambahan kuota impor daging sapi, hal ini tidak perlu tercapai dalam perbuatan tindak pidana yang dipersyaratkan karena perbuatan terdakwa digerakkan oleh janji Maria," kata hakim Djoko Subagyo.
Selanjutnya mengenai tindak pidana pencucian uang hakim menyetujui bahwa Luthfi sengaja tidak melaporkan tiga rekening di BCA ke Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) yang merupakan kewajiban Luthfi sebagai penyelenggara negara.
"Ada tiga rekening koran BCA yang tidak dilaporkan dalam LHKPN dan terdakwa mengatakan rekening itu hanya lalu lintas dana dari penghasilan tetap, berbisnis, utang-piutang dan yayasan terdakwa, tapi terdakwa tidak melaporkannya adalah sudah bisa disebut menyembunyikan harta kekayaan," kata anggota hakim Purwono Edi Santosa.
Luthfi juga sengaja membelanjakan uang dalam rekening tersebut untuk menyembunykan harta kekayaannya, misalnya membeli rumah senilai Rp1,5 miliar dari Ketua Dewan Syuro PKS Hilmi Aminuddin, membeli rumah senilai Rp3,5 miliar dari Hambali yang di atasnya berdiri pabrik genteng dengan luas seluruhnya 6-7 hektare, membeli mobil Nissan Navara dari Hilmi senilai Rp300 juta dan dibaliknamakan atas nama Rantala Sikayo.
"Patut diduga terjadi unsur tindak pidana karena mobil Nissan Navara setelah lunas dibaliknamakan menggunakan Rantala Sikayo yaitu asisten terdakwa adalah untuk menyembunyikan asal usul, sedangkan rumah juga tidak dibaliknamakan sehingga masih atas nama Yoppie Sangkot Batubara dan dibeli di bawah harga pasar dan keduanya tidak masuk dalam LHKPN Perubahan 2009," jelas hakim Purwono.
Hilmi yang tercatat sebagai direktur PT Sirat Inti Buana juga tidak menerima keuntungan atau gaji dari perusahaan tersebut sehingga pengakuan bahwa uang itu berasal dari PT Sirat menurut hakim harus dikesampingkan.
Hakim juga mencatat bahwa pada periode Januari 2005 - Desember 2009 Luthfi membelanjakan uang Rp1,6 miliar untuk sejumlah mobil, sedangkan pada April 2012-Januari 2013 Luthfi membelanjakan secara bertahap hingga Rp10,2 miliar seperti untuk kendaraan lain seperti mobil Volvo senilai Rp1,25 miliar, mobil Volkswagen Rp1,09 miliar serta pembelian rumah di Kebagusan senilai lebih dari Rp1 miliar.
"Terdakwa tidak mau membuktikan asal-usul kekayaannya sehingga majelis berpendapat terdakwa menerima transfer dengan tidak wajar karena dari nomor rekening yang tidak dilaporkan ke LHKPN, jadi ada niat untuk menyembunyikan harta kekayaan sehingga mempersulit untuk mengetahui sumber-sumber penerimaan sebagai penyelenggara negara," ungkap hakim Purwono.
Luthfi juga melakukan modus bahwa ia seolah-olah menyewa rumah dari asistennya Ahmad Zaki untuk menyembunyikan rumah milik Luthfi, padahal Zaki diketahui tidak membeli rumah tersebut.
"Dalam persidangan, saksi Yudi Setiawan juga mengatakan memberikan ijon hingga Rp20 miliar karena terdakwa akan mengawal di DPR sehingga penerimaan uang dari Yudi diserahkan ke Fathanah, dan Yudi mengonfirmasi lewat telepon," jelas ketua majelis hakim Gusrizal Artinya menurut majelis hakim, ada uang yang tidak wajar dari Luthfi dan berusaha untuk menyembunyikan harta kekayaan, sehingga tidak sesuai dengan profil LHKPN dan diduga berasal dari tindak pidana korupsi.
"Terdakwa mendapatkan 'fee' yang berasal dari proyek yang diurus oleh Fathanah dan Ahmad Zaki atas persetujuan terdakwa sebagai anggota DPR maupun presiden partai, ketika terdakwa tidak bisa membuktikan asal usul sumber kekayaan maka patut diduga bersal dari tindak pidana korupsi," tambah Gusrizal.
Hakim juga mencatat pertemuan Luthfi, Fathanah dan Yudi di PT Cipta Terang Abadi milik Yudi untuk melakukan konsolidasi penggalangan dana Rp2 triliun untuk dana konsolidasi pemilu 2014 yang berasal dari oleh sumber dana beberapa proyek di tiga kementerian yaitu Kementerian Pertanian sebesar Rp1 triliun, Kementerian Sosial sebesar Rp500 miliar dan Kementerian komunikasi dan Informasi sebesar Rp500 miliar.
Selanjutnya terkait dengan peran perempuan yang bernama Bunda Putri, hakim menilai bahwa berdasarkan percakapan Luthfi dan perempuan tersebut, Luthfi dapat mengatur posisi pejabat di Kementan sehingga dapat mengendalikan orang-orang yang dinilai loyal kepada Luthfi.
Perbedaan pendapat Namun seperti vonis terhadap Fathanah, terdapat perbedaan pendapat mengenai kewenangan jaksa KPK untuk melakukan penuntutan dalam TPPU oleh dua hakim yaitu hakim anggota 3 (I Made Hendra) dan hakim anggota 4 (Djoko Subagyo).
Perbedaan pendapat tersebut berrdasarkan pasal 71 UU No 8 tahun 2010 tentang tindak pidana pencucian uang, untuk pemblokiran harus ditandatangani kepala kejaksanaan dan tidak ada KPK sedangkan berdasarkan pasal 72 ayat 5 UU No 8 tahun 2010 penuntut umum di bawah Jaksa agung dan kepala Kejaksaan Tinggi bukan KPK karena jaksa KPK berada di bawah KPK sendiri, sehingga kewenangan penuntutan pencucian uang diserahkan ke penuntut umum di kejaksaan neegeri setempat sedangkan pada pasal 75 UU No 8 tahun 2010 disebutkan bahwa KPK hanya berwenang untuk melakukan penyidikan TPPU dan tidak ada wewenang untuk menggabungkan penyidikan dan penggabungan.
"Jaksa KPK tidak diberikan kewenangan dalam penuntutan TPPU sehingga penuntutan tersebut dengan sendirinya tidak memiliki dasar hukum atau ilegimasi, sehingga hakim anggota 3 dan 4 sependapat bahwa KPK tidak berwenang melakukan penuntutan," ungkap Made hendra.
Majelis hakim dalam putusannya juga memutuskan untuk menyita sejumlah harta milik Luthfi yaitu 8 mobil dan 6 tanah serta uang sebanyak Rp100 juta, sedangkan lima rumah di Batu Ampar dan 1 rumah di Jalan H Samali dikembalikan ke Bank Muamalat dan Bank BCA karena diagunkan oleh Ahmad Zaki.
Menanggapi vonis tersebut, Luthfi menyatakan banding.
"Saya mengambil keputusan tanpa mengurangi rasa hormat saya, saya tidak bisa terima dan menyatakan banding," kata Luthfi. (Ant/Sp/Bk)
Komentar
Posting Komentar